Kelakuan Berengsek VOC Ditiru Eropa, Jokowi Melawan


 

Indonesia saat ini sedang dalam sengketa hukum perdagangan dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Gugatan Indonesia ke WTO oleh Uni Eropa itu terjadi atas kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri.

Pada Oktober 2022 kemarin, Indonesia dinyatakan kalah atas gugatan di WTO itu. Meskipun kalah, Presiden RI Joko Widodo menyebutkan untuk tidak takut dan tidak mundur menghadapi kekalahan gugatan Uni Eropa di WTO itu.

Anggota Pokja Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Djoko Widajatno berpendapat bahwa apa yang dilakukan negara-negara Eropa itu disebut mirip seperti yang dilakukan VOC pada zaman penjajahan. Negara-negara Eropa tersebut dinilai hanya ingin menguasai hasil sumber daya alam dari Indonesia tanpa ingin memberikan nilai tambah.

"Waktu VOC mereka datang ke sini tujuannya berdagang setelah berdagang banyak untungnya memaksakan untuk menyerahkan hasil bumi kita ke Eropa karena mereka membutuhkan rempah-rempah dari Indonesia," ujarnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (14/1/2023).

Dia pun memandang penjajahan di masa VOC seperti terulang kembali dengan adanya intervensi negara-negara Uni Eropa. Utamanya terhadap melimpahnya sumber daya mineral Indonesia yakni nikel yang berasal dari Sulawesi, Maluku Tenggara, dan Papua.

Jika melihat sejarah, pola seperti ini memang mirip dengan tindakan VOC pada masa silam. VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang dibentuk pada 1602 di Amsterdam.

Mereka awalnya datang ke Nusantara (kini Indonesia) dengan motif perdagangan. Komoditas yang dibeli adalah rempah-rempah.

Mereka membeli dari pedagang lokal dengan harga murah lalu membawanya lewat kapal laut ke Belanda. Di sana mereka menjualnya dengan harga selangit. Karena satu-satunya pedagang rempah, alhasil Belanda kaya raya.

Motif berdagang itu kemudian berubah jadi politik. Untuk memuluskan langkahnya, VOC mengadu domba kerajaan lokal sekaligus memanfaatkan kebaikan masyarakat lokal.

Dari sini, VOC perlahan mulai menguasai wilayah pesisir Jawa dan kawasan Timur Hindia Belanda, mendirikan kantor dagang di Banten pada 1603, dan merebut pelabuhan penting di Jawa, salah satunya Sunda Kelapa, pada 1619. Sejak saat itulah Belanda menjadikan Batavia sebagai pusat administrasi.

Tak sampai di situ, VOC juga merebut pulau penting penghasil rempah-rempah, seperti Ambon dan Banda. Khusus di Banda, VOC melakukannya dengan cara sadis, yakni membantai penduduk lokal.

"Kepulauan Banda diduduki setelah pertempuran gigih, dan praktis penduduknya terbasmi habis," tulis Bernard H.M Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2017).

Penguasaan atas Malaka dan kepulauan Timur Hindia Belanda membuat VOC menjadi penguasa atas lautan Nusantara. Monopoli perdagangan telah menjadi 'kunci emas' VOC.

Belakangan, VOC lebih dari sekadar perusahaan. Mereka memiliki tentara, mendapat hak untuk melakukan perjanjian dengan penguasa lokal, membangun koloni, sampai mencetak uang sendiri.

Menurut M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), keistimewaan ini membuat VOC semakin berkuasa. Keberhasilan VOC 'mengadali' dan 'menipu' masyarakat Nusantara menjadikannya sebagai perusahaan dengan aset terbesar di dunia saat itu. Sampai tahun 1637 saja, asetnya mencapai 78 juta gulden atau setara US$ 7,9 triliun saat ini.

Lewat dana besar hasil eksploitasi dari Nusantara itu mereka dapat membangun berbagai fasilitas penting di Belanda. Hidup mereka sejahtera di atas kesengsaraan masyarakat Nusantara yang makin melarat dan tertindas dengan menjual mentah hasil buminya untuk kekayaan VOC.

Jadi, bila melihat praktik Eropa saat ini yang mencegah Indonesia mengelola sumber daya alam sendiri agar bernilai tambah, praktik ini tak ubahnya seperti VOC gaya baru.

Komentar